Generasi Z (Gen Z) adalah generasi yang lahir antara tahun 1995 dan 2010, merupakan generasi pertama yang lahir di dunia yang terintegrasi dan terhubung secara global di mana internet selalu tersedia [1]. Sejak usia dini, generasi ini sudah mengenal dan menggunakan berbagai macam teknologi, sehingga teknologi merupakan hal yang tidak terpisahkan dalam hidupnya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bagian otak Gen Z yang bertanggung jawab atas kemampuan visual jauh lebih berkembang dibandingkan dengan generasi sebelumnya, sehingga bentuk-bentuk pembelajaran visual menjadi lebih efektif. Pembelajaran visual antara lain dapat berupa permainan interaktif, proyek kolaboratif, tantangan, dan apa pun yang langsung dapat dicoba dan dilihat oleh siswa. Ketika ditampilkan teks dan konten online, para siswa lebih banyak melihat pada gambar berwarna dan membaca kurang dari 20% teks. Dampak dari hal ini membuat pembelajaran model ceramah dan diskusi sangat tidak disukai oleh kelompok usia ini [1][2]. Gen Z sangat menggemari teknologi dan lebih suka melakukan komunikasi menggunakan sosial media dibandingkan dengan komunikasi langsung, selain itu generasi ini juga memiliki kemampuan mengerjakan banyak hal secara bersamaan [3]. Penggunaan teknologi yang cukup tinggi menimbulkan tren Acquired Attention Deficit Disorder (AADD) yaitu ketidakmampuan untuk fokus dan menganalisa informasi dan masalah yang kompleks. Selain itu rentang perhatian Gen Z lebih terbatas jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Di kelas, rentang perhatian siswa rata-rata adalah tujuh hingga sepuluh menit, tetapi keberadaaan internet dan kebiasaan untuk online menyebabkan rentang perhatian siswa menjadi delapan detik. Survei menunjukkan bahwa 43% remaja ingin belajar di internet dan tidak menggunakan bahan berbasis kertas. 38% lebih suka belajar campuran (hybrid learning) dan 16% lebih suka menggunakan buku untuk belajar [1]. Keberadaan siswa yang tergolong dalam generasi Z disikapi positif oleh pemerintah. Penerapan kurikulum 2013 telah mewajibkan guru dan sekolah untuk menguasai teknologi informasi dalam kegiatan pembelajaran yang dilakukan di sekolah maupun di luar sekolah [4]. Kebijakan ini adalah upaya untuk mengaplikasikan pembelajaran yang mudah dan selaras dengan perkembangan jaman. Metode belajar hybrid learning ataupun e-learning menjadi metode pilihan baru untuk membantu meningkatkan minat belajar peserta didik. Melalui metode e-learning, peserta didik dapat belajar, mengunduh materi, menyampaikan tugas, dan berdiskusi kapan saja dan dimana saja [5]. Artikel ini diambil dari http://journal.um-surabaya.ac.id/index.php/Axiologiya/article/view/3470